Kebijakan
Kriminal Cyber Crime
1. Landasan
Pemahaman Tentang Kebijakan Kriminal
Tekno-informasi berkembang
dengan pesat menyebabkan banyak perubahan pada aspek sosial masyarakat baik
ekonomi bisnis, sosial politik,sistem komunikasi dan interaksi, pendidikan,
termasuk juga hukum. Perubhan yang dihasilkan Tekno-informasi ini ternyata
tidak hanya bersifat positif konstruktif tetapi juga negatif destruktif yaitu
munculnya kejahatan bersaranakan teknologi tinggi (Hitech Crime) khususnya teknologi informasi (CyberCrime). Hukum
sebagai sarana pengaman masyarakat harus setanggap mungkinmengantisipasi,
beradaptasi dengan cara melakukan pembaharuan
menyeluruhmulai aspek subtansi, kultur maupun aparatur peneggak hukum.
- Kebijakan kriminal memegang peran sentral dalam
proses pembaharuan ini.
Terminologi kebijakan diambil dari istilah asing
yaitu bahasa Inggris″policy″ dan
Bahasa belanda ″Politiek″. Sudarto34 mengemukaan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu: dalam
arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum
yang berupa pidana; dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari
aparatur penegak hukum,termsuk didalamnya cara kerja dari pengadilan
dan polisi; dalam arti paling luas, ialah keseluruhan
kebijakan yantg dilakukan
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi
, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral
dari masyarakat.
Penanggulangan kejahatan sekaligus bagian
integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) untuk dapat mencapai tujuan sosial yaitu kesejahteraan sosial (social welfare). Pada uraian tersebut tampak bahwa ada keterpaduan (integritas) antara
politik kriminal dan politik sosial, penanggulangan kejahatan dengan
penal dan non penal.3Keterpaduan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
efektifitaspenanggulangan kejahatan, artinya optimalisasi
hukum pidana saja tanpa dibarengi upaya –upaya sosial lainnya yang
sebenarnya sumber kriminogen akan sangat sulit.
Kebijakan kriminal pada hakikatnya tidak hanya
ditujukan kepada rakyat, masyarakat tetapi juga
pemerintah/penguasa karena potensi pelanggaran tidak hanya didominasi oleh rakyat
tetapi juga pihak penguasa. Pembatas dan pengawasan atau pengendaliankekuasaan negara merupakan dimensi yuridis yang
sesunguhnya dari hukum pidana. Tugas yuridis hukum pidana bukan ″mengatur
rakyat″ tetapi sebaliknya ″mengatur penguasa″
Kebijakan hukum pidana subtansinya adalah
pembatasan (limitation) kekuasaan baik yang dimiliki rakyat maupun
kekuasaan/penguasa penegak hukum untuk berjalan dan berfungsi sebagaimana
mestinya. Secara lebih detail kebijakan hukum pidana meyangkut ruang
lingkup, serangkaian proses mulai dari kongkretisasi, aplikasi,
fungsionalisasi dengan tahap sebagai berikut :
1. kebijakan formulasi/legislatif yaitu tahap
perumusan, penyusunan hukum pidana
2. kebijakan aplikatif/yudikatif yaitu tahap
penerapan hukum pidana
3. kebijakan administratif/eksekutif yaitu tahap
pelaksanaan hukum pidana.
Tiga rangkaian proses tersebut melibatkan secara
aktif tiga cabang kekuasan negara yaitu eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Proses formulatif sebenarnya adalah kunci dari sekian proses
kebijakan kriminal karena dalam tahap ini berbagai aspirasi, tuntutan,
harapan bahkan nilai-nilai keadilan masyarakat di absorbsi. Kendatipun
demikian persoalan kebijakan kriminal bukan semata-mata monopoli legislatif
yang bersifat normatif yuridis tetapi membutuhkan keterlibatan disiplin
lain demi fungsionalisasi hasil kebijakan kriminal “hukum pidana” dalam
masyarakat.
Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan
sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi,
beroperasi, atau bekerja dan terwujud secara konkrit. Istilah fungsionalisasi
hukum pidana dapat
diidentikkan dengan istilah operasionalisasi
atau konkritisasi hukum pidana yang pada hakikatnya sama dengan penegakan hukum
pidana.
Fungsionalis.asi hukum pidana berarti membahas
masalah bekerjanya dan berfungsinya hukum pidana melalui
tahapan/proses:
(1) formulasi
(2) aplikasi/judisial
(3) eksekusi sebagai
sarana penal kebijakan hukum pidana.
Kebijakan hukum pidana terkait erat dengan
pengertiankebijakan/politik hukum, yakni usaha untuk mewujudkan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu saat,melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan peraturan yang dikehendaki, dan diperkirakan bisa
digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat untuk mencapai
yang dicita-citakan.
Melaksanakan kebijakan hukum pidana berarti
mengadakan pemilihan ketentuan perundang-undangan pidana yang paling
baik dalam arti memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna, sebagai
upaya penanggulangan kejahatan dengan memakai tindakan-tindakan
sesuai prosedur hukum
pidana. Kebijakan kriminal bukan satu-satunya pilihan
untuk menanggulangi kejahatan dalam masyarakat, melainkan hanya
salah satu bagian saja untuk mendukung suksesnya pencapain tujuan
sosial yang lebih besar. Penanggulangan kejahatan secara umum dapat
ditempuh melalui dua
pendekatan yaitu penal dan non penal. Keduanya
dalam fungsinya harus berjalan beriringan secara sinergis, saling
melengkapi. G P. Hoefnagels40menguraikan beberapa upaya penanggulangan
kejahatan , yaitu;
1. penerapan hukum pidana (criminal law
application);
2. pencegahan tanpa pidana (prevention without
punishment);
3. mempengaruhi pendangan masyarakat tentang
kejahatan dan pemidanaan melalui media masa
( influencing views
of society on crime and
punishment/mass media)
Upaya
pertama adalah pengunaan hukum pidana untuk penanggulangan
kejahatan, yang kedua dan ketiga adalah upaya non
penal. Pemanfaatan sarana penal untuk menagulangi
kejahatan
harus betul-betul di pertimbangkan. Suatu upaya kriminalisiasi
terhadap tindak pidana mayantara perlu memperhatikan
hal-hal fundamental sebagai berikut:
a. Tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat
adil makmur secara material
dan spiritual berdasarkan
Pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan
hukum
pidana bertujuan untuk menanggulangi
kejahatan dan mengadakan penganugerahan
terhadap tindakan penanggulangan itu
sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman
masyarakat.
b.
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus
merupakan perbuatan
yang tidak dikehendaki, tidak disukai atau dibenci
oleh warga
masyarakat yaitu perbuatan yang merugikan
atau dapat merugikan, mendatangkan korban
atau dapat mendatangkan korban. Selain itu harus
pula dipertimbangkan sejauh mana
perbuatan tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang
berlaku dalam
masyarakat.
c.
Perhitungan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) dari
penggunaan hukum pidana
tersebut, yaitu
apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan
hasilnya yang akan
dicapai, artinya cost pembuatan
undang-undang, pengawasan dan penegak
hukum, serta
beban yang dipikul oleh korban dan
pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan
situasi tertib hukum yang akan dicapai.
d.
Kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak
hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan
beban tugas dan keseimbangan sarana-sarana yang
digunakan
dalam hubungannya dengan hasil-hasil
yang ingin dicapai. Selain
kelima hal tersebut diatas
perlu pula berpedoman pada 7
(tujuh) asas yang dikemukakan de Roos yaitu:
a. Masuk
akalnya kerugian yang digambarkan.
b. Adanya
toleransi yang didasarkan pada kehormatan atas kebebasan
dan tanggung jawab individu.
c. Apakah
kepentingan yang dilanggar masih dapat dilindungi
dengan cara lain.
d. Ada
keseimbangan antara kerugian, toleransi dan pidana yang
diancamkan.
e. Apakah
kita dapat merumuskan antara kerugian, toleransi dan
pidana yang diancamkan
f. Kemungkinan penegakan nya secara praktis dan efektif
(serta
dampaknya pada prevensi umum).
Al
Wisnubroto mengatakan bahwa upaya kriminalisasi
terhadap
tindak pidana mayantara minimal ada tiga hal yang harus
dipertimbangkan
yaitu;
a.
Hendaknya dipilih perbuatan-perbuatan yang benar-benar
merugikan
dan dapat menimbulkan akses serius (prinsip
selektif
dan limitatif) agar pengaturan perbuatan yang
dikategorikan
sebagai tindak pidana mayantara tidak
bersifat over
criminalization sehingga justru akan
berdampak
counter productive bagi pengembangan
teknologi
komputer di bidang multimedia atau TI yang
sangat
dibutuhkan oleh negara Indonesia dalam
menghadapi
era globalisasi
42 Trisno Raharjo, Perbandingan Kebijakan Kriminalisasi
Tindak Pidana Mayantara di Indonesi dan Belanda.
Dikutip dari http://www.yahoo.com,
pada tanggal 10 Januari 2007.
43 Al Wisnubroto, 2000, Cybercrime Permasalahan
dan Penanggulangan dari Aspek Hukum Pidana, Diskusi Bagian
Kepidanaan FH UMY, 6 Juli 2000.
li
b.
Hendaknya dipertimbangkan apakah biaya yang harus
dikeluarkan
untuk menyusun ketentuan yang mengatur
delik
komputer yang dikategorikan sebagai tindak pidana
mayantara
yang bersifat rumit dan kompleks, biaya untuk
mengawasi
dan menegakkan ketentuan tersebut yang
memerlukan
fasilitas atau sarana teknologi tinggi dan
beban
yang harus dipikul korban akan berimbang dengan
hasil
yaitu situasi tertib hukum di dunia mayantara (cost
and
benefit principle)
c.
Hendaknya dipertimbangkan kapasitas atau kemampuan
daya
kerja dari badan-badan penegak hukum di Indonesia
yang
nantinya akan dibebani tugas untuk menegakkan
ketentuan
yang mengatur delik komputer yang
dikategorikan
sebagai tindak pidana mayantara, sehingga
tidak
terjadi beban tugas yang bersifat overbelasting
sehingga
banyak peraturan yang dibuat ternyata dalam
prakteknya
di lapangan tidak dapat ditegakkan.
Di samping Masalah kriminalisasi, masalah lain
yang perlu
dipertimbangkan juga adalah alternatif
pengaturan. Barda Nawawi
Arief menguraikan beberapa alternatif pengaturan
sebagai berikut:44
a. Diatur dalam undang-undang khusus tentang
penyalahgunaan
komputer
b. Diintegrasikan ke dalam kodifikasi (KUHP)
dengan cara
menambah, menyisipi atau merubah/memperbaruhi
pasal-pasal
dalam KUHP.
c. Diatur dalam kodifikasi (KUHP) maupun dalam
undangundang
khusus
Marjono Reksodiputro44 menjelaskan suatu pengaturan secara khusus
diperlukan apabila tindak pidana mayantara
dianggap sebagai kejahatan
kategori baru (new category of crime) yang membutuhkan suatu kerangka
hukum yang baru dan komprehensif untuk mengatasi
sifat khusus
44 Barda Nawawi Arief, 2002, “Pengaturan Cyber Crime dengan
Hukum Pidana: Beberapa Catatan Terhadap
Ketentuan
Pidana dalam RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi”, Seminar
Nasional Cyber Law, Semarang,
13 April 2002
44 Marjono Reksodiputro, 2002, Cyber Crime:
Intelectual Property Rights, E-Commerce, Penataran Nasional Hukum
Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPEHUPIKI) di
FH Universitas Surabaya, 13-19 Januari 2002. Dalam Al
Wisnubroto
lii
teknologi yang sedang berkembang dan tantangan
baru yang tidak ada pada
kejahatan biasa, dan karena itu perlu diatur
secara tersendiri di luar KUHP.
Sedangkan apabila menganggap tindak pidana
mayantara sebagai kejahatan
biasa (ordinary crime)
yang dilakukan dengan komputer teknologi tinggi
(high-tech)
dan KUHP dapat dipergunakan untuk menanggulanginya baik
melalui amandemen KUHP maupun perubahan KUHP
secara menyeluruh.
Barda Nawawi Arief menegaskan kebijakan
formulasi dapat ditempuh
melalui dua pendekatan, yaitu45;
a. menganggapnya sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yangdilakukan dengan komputer teknologi tinggi (high-tech) dan KUHP dapat dipergunakan untuk menanggulanginya
(tentu dengan penambahan)
b. menganggapnya sebagai kejahatan kategori baru
(new category of crime) yang membutuhkan suatu kerangka hukum yang baru
dan komprehensif untuk mengatasi sifat khusus
teknologi yang sedang
berkembang dan tantangan baru yang tidak ada
pada kejahatan biasa, dan karena itu perlu diatur secara
tersendiri di luar KUHP.
Ini karena hukum pidana
sifatnya adalah Ultimum
Remedium. Syarat-syarat limitatif itu adalah :
1. Jangan menggunakan hukum pidana untuk
membalas dendam sematamata,
2. Jangan menggunakan hukum pidana jika
korbannya tidak jelas,
3. Jangan menggunakan hukum pidana jika ada
cara-cara lain yang lebihefektif,
4. Jangan menggunakan hukum pidana jika kerugian
pembiayaan akibat dari pemidanaan lebih besar daripada kerugian
pembiayaan akibat tindakpidana itu sendiri.
5. Jangan menggunakan hukum pidana jika efek
sampingnya lebih besar
6. Jangan menggunakan hukum pidana jika tidak
mendapat dukungan masyarakat luas,
7. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hukum
tersebutdiperkirakan tidak bisa berlaku secara efektif,
8. Hukum pidana harus bisa menjaga kepentingan
negara, individu dan
masyarakat,
9. Dan harus selaras dengan pencegahan yang
sifatnya non-penal.Kebijakan kriminal CC terdapat dalam berbagai
instrumen hukum internasional, diantaranya adalah Konvensi
tentang Kejahatan cyber
(Convention on Cyber
Crime) 2001 yang digagas oleh
Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh
organisasi Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan
untuk diratifikasi dan
diakses oleh negara manapun di dunia yang
memiliki komitmen dalam
upaya mengatasi kejahatan Cyber. Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa
pada tanggal 23
November 2001 di kota Budapest, Hongaria telah
membuat dan menyepakati Convention on Cybercrime yang kemudian dimasukkan dalam European Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan
berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh
minimal 5 (lima) negara,termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan
oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe.. Substansi Convention on Cybercrime mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari CC, baik melalui undangundang maupun kerjasama internasional. Tindakan ini
dilakukan denganpenuh kesadaran sehubungan dengan semakin
meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang
berkelanjutan dari teknologi
informasi, yang menurut pengalaman dapat juga
digunakan untuk
melakukan tindak pidana.
Sampai
saat ini terdapat tiga rancangan undang-undang
yang
nantinya dapat dijadikan landasan hukum untuk menghukum
para
pelaku tindak pidana mayantara jika sudah disahkan menjadi
undang-undang.
Konsep KUHP merumuskan dalam ketentuan
umum
berupa pengertian-pengertian yang dapat diterapkan untuk
seluruh
pasal dalam Buku II Konsep KUHP.
Buku II
Konsep KUHP tahun 2005 juga merumuskan delik
atau
menambah delik baru yang berkaitan dengan kemajuan
teknologi,
dengan harapan dapat juga menjaring kasus-kasus tindak
pidana
mayantara. Seperti menyadap pembicaraan di ruangan
tertutup
dengan alat bantu teknis (Pasal 300); 47 memasang alat
bantu
teknis untuk tujuan mendengar/merakam pembicaraan (Pasal
301); 48 merekam
gambar dengan alat bantu teknis di ruangan tidak
untuk
umum (Pasal 303), 49 Merusak/membuat tidak dapat dipakai
47 KUHP Konsep 2005 Pasal 300 berbunyi “Setiap orang yang secara
melawan hukum dengan alat bantu teknis
mendengar pembicaraan yang berlangsung di dalam
atau di luar rumah, ruangan atau halaman tertutup, atau yang
berlangsung melalui telepon padahal bukan
menjadi peserta pembicaraan tersebut, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori II.”
48 KUHP Konsep 2005 Pasal 301 berbunyi “Setiap orang yang secara
melawan hukum memiliki barang yang diketahui
atau patut diduga memuat hasil pembicaraan yang
diperoleh dengan mendengar atau merekam, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori II”.
49 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori II, setiap orang
yang :
a. mempergunakan kesempatan yang diperoleh
dengan tipu muslihat, merekam gambar dengan mempergunakan
alat bantu teknis seorang atau lebih yang berada
di dalam suatu rumah atau ruangan yang tidak terbuka untuk
umum sehingga merugikan kepentingan hukum orang
tersebut;
lv
bangunan
untuk sarana/prasarana pelayanan umum (a.l. bangunan
telekomunikasi/komunikasi
lewat satelit/komuikasi jara jauh) (Pasal
304 ayat
1). 50
Rancangan
Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi
Informasi
(RUU PTI) walaupun masih umum seperi masalah
pornografi,
craker serta carder (pencuri kartu kredit melalui internet).
RUU PTI
bersifat horisontal yang mengatur secara umum masalah
mayantara
sedangkan RUU IETE bersifat vertikal dan sektoral
terkait
dengan perdagangan melalui internet. 51